Bintang88stars - Status Facebookmu Harga Dirimu
Bismillahir-Rahmaanir-Rahim
... Saya tertegun membaca note seorang teman yang dikutipnya dari
ISLAMIC LIBRARY “Ketika Iffah mulai luntur” (dibalik fenomena facebook).
Sebuah
note yang mengusik harga diri, moral etik dan kesantunan dalam
komunikasi komunal. Wajah facebook semakin menampilkan mike up
penggunanya yang t
ak terhingga.
Sebagai
sebuah fenomena yang rata menggejala, facebook semakin bergeser dari
sekedar alternatif jalinan komunikasi di dunia maya. Ada user yang
begitu cerdas memanfaatkan statusnya untuk menyampaikan pesan yang
bermanfaat. Menjadikannya sebagai alat penggerak solidaritas yang massif
untuk menghimpun dukungan atas penderitaan orang lain.
Ada
yang mendisainnya sebagai link dakwah dan pesan Islam rahmatan lil
alamin atau aktifitas lain dalam kerangka amar ma’ruf nahyi munkar.
Alhamdulillah, terhadap yang demikian ini, kita patut bersyukur dan
mengapresiasinya dengan tulus.
Ada
pula user yang menjadikan wallnya bagai “tembok ratapan” atas apa yang
dialaminya seharian begitu naif. Ada yang sekedar iseng mengumbar kata
yang tidak jelas apa makna dibalik apa yang ia tulis.
Yang lebih dari itu, ada pula facebooker yang memanfaatkan status pertemanan mayanya sebagai alat mengelabui orang lain.
Bahkan
ada yang sengaja memasang “jerat” untuk orang yang dibidiknya. Terhadap
yang demikian, sangat terasa bahwa pertemanan di dunia maya hanyalah
mendiskon waktu tanpa mendapatkan manfaat apa-apa selain kesenangan semu
belaka. Bahkan bisa jadi, facebook tak ubahnya seperti menggali lubang
”sial” bagi penggunanya.
Yang
cukup rawan adalah fasilitas audio visual di facebook. Memang, video,
film atau gambar, membuat pesan yang ditampilkan di wall begitu jelas
dan hidup. Dalam hitungan detik pesan itu diterima ke seberap pun jumlah
relasi dalam pertemanan di account facebook.
Namun
lagi-lagi, ada video atau potongan film atau gambar yang sangat kental
nuansa moral etiknya. Ada pula yang sangat rendah nilai moral etiknya.
Maka
facebook, seperti sebilah pisau bermata dua. Note teman saya itu
membuat saya tersadarkan akan hal itu. Katanya, “STATUS FB KAMU…HARGA
DIRIMU”. Sebuah catatan menyindir dan menohok atas status pertemanan di
dunia maya.
Berteman
pada dasarnya adalah naluri. Siapapun memiliki kecenderungan mencari
teman, menerima teman dan ingin diterima dalam status pertemanan.
Sebab
sifatnya yang naluriah (fitrah) itu, Islam mengajarkan agar pertemanan
hendaknya diikat dalam bingkai saling menghormati, menghargai dan
masing-masing pihak menjaga kehormatan pribadi orang lain dalam jalinan
pertemanannya.
Bahkan
sangat dianjurkan apabila memilih atau menerima teman diniatkan untuk
menjalin sillaturrahim dan persaudaraan. Inilah kerangka dasar
pertemanan yang patut dikembangkan ddan diindahkan.
Rambu-rambu
jalinan pertemanan yang sehat dan hanif sebenarnya sudah sangat jelas
kita miliki dalam khazanah Islam; dien yang kita junjung kemuliaannya.
Begitu juga dari sisi kejiwaan maupun nilai-nilai moral.
Baik
nilai-nilai moral yang berkembang di masyarakat (sosial), apatah lagi
nilai-nilai Islam sebagai nilai yang paling luhur dalam pola hubungan
antar individu seperti telah disinggung.
Seyogyanya,
seorang facebooker muslim atau muslimah harus setia menampilkan
nilai-nilai Islami dan mengembangkannya setiap kali berinteraksi dengan
teman di dinding facebooknya. Namun kesadaran demikian belumlah merata
dipahami setiap kita.
Memang
bagian dari sifat bawaan dalam konteks naluri berteman, manusia
memiliki kecenderungan yang beragam. Seseorang memilih teman akan selalu
mengikuti kata hati dan kecenderungan yang ada pada dirinya. Setiap
orang pastilah begitu. Tetapi kepastian itu beraneka ragam bergantung
masing-masing pribadi.
Maka
dapatlah dimaklumi apabila ada yang menolak berteman dengan seseorang
karena menurutnya tidak sesuai dengan type atau selera kecenderungannya.
Sebaliknya, ada orang yang baru beberapa saat berkenalan telah merasa
akrab sebab keduanya merasa memiliki kesamaan dalam beberapa hal.
Benarlah isi dari sebuah riwayat yang menyatakan:
”Ruh-ruh
manusia tersusun laksana prajurit yang berbaris. Mana yang saling kenal
(cocok/sesuai/se-ideologi) akan saling berpadu. Dan mana yang saling
mengingkari akan berselisih/berpisah.” (HR. Al-Bukhari).
Riwayat
ini bukan saja menjelaskan fakta kecenderungan setiap orang dalam
memilih teman. Tetapi menjadi dasar untuk mencermati ke mana arah
pertemanan itu dibawa. Riwayat ini hemat saya bersesuaian dengan satu
riwayat yang menyatakan bahwa:” Setiap yang dilahirkan mengikut fitrah,
kemudian ibu bapaknya menjadikannya Yahudi atau Nasrani ataupun Majusi”.
Dengan
kata lain, seseorang membawa kecenderungan berteman sejak lahir kepada
siapa yang cocok dengannya berteman. Dan kecenderungannya semakin
berkembang sebab lingkungan pertemanannya mendukung penuh disebabkan
persamaan karakter yang melekat pada jiwanya.
Apabila lingkungan pertemanannya bernuansa tauhid, maka besar kemungkinan tauhidnya berkembang subur.
Tetapi
ketika lingkungannya adalah jahil, tidak tertutup kemungkinan ia
menjadi layaknya manusia jahiliyah. Karena itu, idiologi seorang teman
patut dicermati.
Sebagaimana
kita ketahui, sebuah idiologi akan mengikat seseorang dengan amat
sangat kuat. Idiologi itu akan mewarnai pola pikir, pola ucap, pola
baca, pola tulis dan segala relasinya yang kemudian menjadi pola dalam
setiap interaksinya.
Sangat mungkin sekelompok orang akan berteman secara komunal dan akrab karena idiologi marxis yang sama-sama mereka anut.
Begitu
juga orang yang berpaham pluralis, liberalis atau skuleris akan saling
merasa cocok satu sama lain karena sebab yang sama. Maka tidaklah aneh,
apabila ada pribadi yang merasa risih berdekatan dengan penjudi, pemabuk
atau pezina.
Bahkan
ia ingin berlari sejauh-jauhnya dari mereka lantaran dirinya lebih
banyak berkumpul dan merasa dekat dengan orang-orang yang berakhlak
kariimah.
Sebaliknya
juga begitu. Secara naluriah, remaja pelaku dan pegiat maksiat yang
akrab dengan narkoba, seks bebas, diskotik dan hiburan malam akan
menghindari remaja masjid yang senang berlama-lama di masjid, doyan
ngaji dan memperdalam agama yang menjadi idiologinya.
Alangkah
relevannya riwayat Imam Ahmad yang dengan amat jernih menegaskan bahwa
teman seperti idiologi. Dinyatakan dalam riwayatnya:
”Seseorang
akan mengikuti agama/keyakinan sahabat karibnya. Maka hendaklah setiap
orang memperhatikan siapa yang menjadi sahabatnya itu.” (HR. Imam
Ahmad).
Catatan
teman saya yang mengutif sorotan atas beberapa status yang banyak
muncul di layar facebook memang boleh dikata sudah tidak wajar. Bahkan
terkesan vulgar dan seronok. Mungkin bagi yang merasa cocok karena
memiliki kesamaan kecenderungan, status itu dianggap biasa-biasa saja,
wajar dan lumrah.
Tapi
ternyata tidak oleh teman saya, dan saya menilainya pun demikian
vulgarnya. Namun bisa jadi karena perbedaan karakter dan kecenderungan,
yang menilai vulgar itulah yang dituduh memiliki pikiran ngeres, jorok
dan seronok.
Cobalah
cermati status berikut yang dikutip teman saya dari “Ketika Iffah mulai
luntur” (dibalik fenomena facebook). Tertulis status seorang wanita:
“Hujan-hujan malam-malam sendirian, enaknya ngapain ya ….?”
Sekilas,
bunyi status seperti ini memang biasa saja apabila hanya untuk
dinikmati sendiri oleh penulisnya. Tetapi ketika status seperti itu
dibagikan kepada sekian ribu isi kepala, maka segera akan menjadi
masalah. Komentar-komentar lah yang mempertegas bahwa status itu
mengundang masalah seperti ditulis salah seorang lelaki yang dalam
komentarnya:
”mau
ditemanin? Dijamin puas deh…” Apa yang Anda bayangkan kemudian?
Bukankah coretan dinding seperti ini terkesan liar meskipun dapat
ditebak arahnya? Lain hal kalau komentar itu berbunyi misalnya,” minum
wedang jahe Mba, pasti menghangatkan”. Atau,” gosok gigi, cuci kaki,
ambil selimut tebal, tidur deh”. Bukankah kesan yang ditimbulkannya
berbeda dari yang pertama?
Kutipan selanjutnya, seorang wanita lainnya menuliskan statusnya:
“bangun
tidur, badan sakit semua, biasa … habis malam jumat ya begini…”. Yang
laki-laki tidak kalah hebat menulis statusnya, “habis minum jamu nih….,
ada yang mau menerima tantangan? Status dan komentar seperti itu
bersahut-sahutan tak terkendali. Sampai kepada status yang berbunyi, “
mau tidur nih, panas banget…bakal tidur pake dalaman lagi nih”.
Status
kurang elok seperti ini langsung memancing berpuluh2 komentar datang.
Ada komentar yang nakal dan bernada melecehkan juga bermunculan. Maka
sebuah status jahil, akan diaminkan dengan bahasa yang jahil pula.
Seperti koor paduan suara, saling sambut penuh ”nafsu’ mengumandangkan
suaranya.
Tak
disadari, status serta komentar seperti itu laksana interaksi
persahabatan tanpa hati nurani dan rasa malu. Fenomena di atas menjadi
tanda besar bagi facebooker muslim, bahwa hegemoni ‘kesenangan semu’
yang dibungkus dengan ‘persahabatan fatamorgana’ tengah ditampilkan
facebook yang melindas semua rasa malu, tata krama dan kehormatan diri.
Inikah ciri khas pertemanan maya?
Lalu
terngianglah di telinga bait syair yang ditulis sastrawan Taufik Ismail
yang dinyanyikan Chrisye. Chrisye memang telah berpulang ke haribaan
Allah. Tetapi pesan dalam lagunya seperti tetap hidup dalam konteks
menata diri dalam berbagai spektrum. Sangat relevan saat menulis status
di facebook yang menyelamatkan.
Akan datang hari ..Mulut dikunci ..Kata tak ada lagi ...Akan tiba masa ..Tak ada suara ..Dari mulut kita ...Berkata tangan kita ..Tentang apa yang dilakukannya ...Berkata kaki kita ..Kemana saja dia melangkahnya ...
Menilik
secara jujur riwayat Imam Ahmad di muka, sesungguhnya teman adalah
cermin diri setiap orang. Orang yang berkawan karib dengan pribadi
seronok, adalah pantulan bayangan atas cermin dirinya. Begitu pun
sebaliknya, senang bergaul dekat dengan orang-orang soleh adalah juga
bayangan atas dirinya.
Maka kriteria teman baik dan buruk menjadi sangat jelas. Teman baik bagi seorang muslim adalah teman yang bisa menyelamatkan.
Teman
yang meneguhkan saat berada di jalan yang lurus dan mengingatkan saat
keliru bermain-main di jalan yang salah. Teman baik seperti ini hanya
bisa ditemukan pada pribadi yang seiman dan seagama.
Sedangkan
teman buruk adalah teman yang menjerumuskan pada kehinaan. Teman yang
menjauh saat ingat pada kebaikan dan amal saleh, tetapi mengajak semakin
jauh tersesat di saat terlena pada kedurhakaan dan maksiat.
Dengan
demikian, berhati-hati memilih teman jauh lebih bijak dari sekedar
alasan memperbanyak teman tanpa memilah dan memilih siapa di antara
semuanya yang layak dijadikan sebagai teman.
Apabila diri kita dianggap sebagai teman, tolonglah teman yang dizalimi dengan memberikannya perlindungan dari kezaliman.
Tolong pula teman yang zalim dengan menghentikan perbuatan zalimnya.
Dengan
begitu kita telah menjadi teman yang baik. Teman yang bukan semata-mata
menunjukkan jalan ke surga, tetapi juga teman yang mampu menyelamatkan
sahabt dari jilatan api neraka meskipun sebelah kakinya telah tercebur
ke jurangnya yang menganga.
Duhai sahabat, mari menulis, menulis yang menyelamatkan ..
Mari membaca, membaca yang mencerdaskan ..
Mari berbagi, berbagi yang memuliakan ...